Kamis, 08 April 2010

MATI

Belajar untuk Mati
Galang Lufityanto (www.galang.biz)
Kata kakek berjenggot putih itu, orang yang dicabut nyawanya sakitnya seperti diiris pedang seribu kali. Aku mengambil sebilah pisau, dan sedikit kugoreskan ke kulit tangan. Auh.., sakit...! Bibirku bergetar. Benarkah mati itu lebih sakit daripada ini?
Jadi aku seharusnya bisa lebih kuat.
Ah sedikit lagi..., batinku sambil menyayat bagian telapak tanganku dekat dengan pangkal jari. Darah keluar setitik, lalu membesar sedikit demi sedikit seperti air yang keluar dari permukaan tanah dan membentuk genangan. Baunya anyir. Aku meringis, sambil mengelapnya pada kain celanaku.
Sakit…..
Apakah mati harus sesakit ini? Atau jangan-jangan kakek itu hanya mengada-ada?
Tanganku masih menyisakan darah. Buru-buru kukulum untuk menghentikan darah keuar lagi. Sebenarnya luka ini tidak terlalu mengerikan. Setidaknya buatku. Bagaimanapun juga ini sama sakitnya kalau abah menampar pipiku bila aku tidak bisa mendapat uang banyak dari mengamen siang harinya.
Tapi mati serasa diiris seribu pedang? Jika perkataan kakek itu benar, berarti mati itu adalah masalah.
************
Pagi ini –dan seperti pagi-pagi lainnya– aku mengenakan kaos yang lusuh. Kali ini kaos kesayanganku, yang ada jahitannya di bagian lengan kanan. Bila aku memakainya biasanya akan dapat uang banyak.
Kuambil sandal jepit butut di dapur. Melewati kamar abah, aku berjingkit-jingkit tanpa menimbulkan suara. Penutup kamar bukanlah pintu, tapi sehelai kain tipis. Diterpa sinar matahari dari jendela yang mungkin lupa ditutup sejak tadi malam, aku bisa melihat bayangan abah –besar meringkuk di tempat tidur. Aku menghela napas lega.
Tapi….
1
Klutuk! Tanpa sengaja aku menyenggol botol bir kosong abah di lantai. Botol cap topi miring itu menggelinding, dan akan membentur dinding bila aku tidak cepat-cepat menahannya dengan tanganku.
Mati aku! Batinku menelan ludah. Telingaku menangkap dengkuran abah mereda. Ranjang berderik. Aku membayangkan abah tengah mengeliat sekarang. Dan tubuhku seakan menciut ditekan perasaan was-was yang berlebihan.
Satu detik. Dua detik, Aku bahkan takut pada bunyi desahan napasku. Seakan waktu berhenti di dekatku.
Lalu dengkuran abah mulai terdengar lagi.
Tak perlu menunggu kesempatan kedua atau kejaiban datang lagi, untuk segera pergi meninggalkan rumah. Aku menyambar kecrekan-ku, sebilah bambu sepanjang pergelangan tangan yang kupasangi tutup-tutup seng botol. Sehingga bila kugoyangkan, akan keluar bunyi crek-crek, yang akan mengiringi nyanyianku.
Aku tidak punya uang cukup untuk membeli gitar kecil, bahkan yang termurah sekalipun. Ah…, tapi biarlah! Toh aku memang tidak bisa menyanyi. Yang kulakukan hanya memasang muka memelas, dan orang-orang akan mengeluarkan recehnya.
Sebenarnya hanya tinggal berjalan lurus untuk sampai ke jalan besar. Lantas menunggu andhong atau becak yang akan pergi ke kota, dan aku akan ikut serta. Tapi entah aku masih penasaran dengan yang kemarin. Jadi kulangkahkan kakiku berbelok di sebuah gang kecil. Aku berharap kakek berjenggot putih itu ada di rumahnya.
Kampungku layaknya lahan kering di pinggiran kota. Tidak ada sawah yang hijau. Yang ada hanya rumah-rumah kecil dari triplek, pemuda-pemuda bertato yang kerjaannya hanya main ceki, dan lalat-lalat yang beterbangan.
Dalam jalanku, aku merenung. Mengingat-ingat ketika kakek itu merapikan rambutku yang kemerahan tersengat sinar matahari.
“Rambutmu bagus. Sayang kalau berantakan.” Kakek itu mengelus anakan rambutku.
Aku mencibir. “Tapi aku biasanya dapat uang banyak bila rambutku berantakan.” Kuacak kembali rambutku. Kakek itu hanya menghela napas dan mengangkat bahunya.
Seharusnya aku marah. Tapi anehnya, tidak. Tidak untuk kakek itu
Beberapa langkah lagi aku sampai di halaman rumah kakek itu, dari arah persimpangan di depanku muncul lima orang anak memotong jalan. Mereka pasti punya tujuan yang sama denganku, karena memang di sana tidak ada apa-apa kecuali rumah kakek itu.
Mereka menghentikan obrolannya ketika melihatku. Aku jadi salah tingkah. Mereka lalu berbisik-bisik. Entah tentang apa. Tapi tampaknya mereka sedang membicarakan diriku.
2
Aku baru sadar ketika melihat penampilanku sendiri. Kaos kumuh, tak kalah lagi kucelnya celanaku, dan masih ditambah sandal jepit yang warna pengaitnya saja sudah pudar. Diam-diam aku menyembunyikan kecekrekan-ku di belakang punggungku.
Mereka –meski usianya paling hanya terpaut satu tahun dariku– terlihat sungguh berbeda. Pakaiannya putih bersih, dan sarung yang dikenakan berwarna cemerlang. Topi bundar yang lucu menghiasi kepala mereka. Di tangan kanan mereka masing-masing membawa sebuah buku tebal, bukan….., lebih mirip kitab.
Bagus. Lha aku?!
Terpukul mundur dalam langkah-langkahku. Aku pergi meninggalkan tempat itu dengan segumpal perasaan kecewa. Setibanya di persimpangan kecil dekat gardu siskamling, aku berbelok. Namun tidak pergi. Sebaliknya aku menghentikan langkahku dan bersembunyi di balik gardu. Dari celah kayu, aku mengintip kelima anak itu.
Seperti dugaanku, mereka memang berniat menjumpai si kakek. Ketika mereka mengucapkan sesuatu, kakek itu muncul dari dalam rumah dengan senyumnya yang tulus. Ia mengenakan baju putih panjang dan juga topi bundar di kepalanya.
Mereka berlima mencium tangan kakek satu persatu.
Aku tersenyum kecut. Satu yang kemudian aku tahu. Aku bukan bagian dari mereka.
Cukup alasan untukku untuk pergi dari tempat ini.
******************
Sore ini kakek berjenggot putih itu mendatangiku. Aku kaget melihatnya berjalan menyisiri trotoar, dan lalu melambaikan tangannya serta memanggil namaku.
Aku menghampirinya, segera setelah menerima sekeping ratusan rupiah dari sopir sebuah mobil.
Kakek itu tampak heran ketika aku mencium tangannya. Itu membuatku sedikit was-was. Jangan-jangan aku salah berbuat. Tapi aku kan hanya meniru kelima anak yang kulihat pagi tadi.
Yang kutakutkan tidak terjadi. Kakek itu tersenyum. Leganya hatiku.
************
“Kamu tiap hari mengamen di sini?”
3
Aku mengangguk. Kuseruput sedikit teh panas. Kakek itu mengajakku ke angkringan. Kulihat kakek itu mencomot sepotong pisang goreng. Lalu menggumamkan sesuatu sebelum memasukkan ke mulutnya.
“Kakek sedang apa?”
“Berdoa,” kakek itu lantas melirik kepadaku. “Kenapa Kamu tanyakan itu?”
“Ah.., tidak apa-apa!” Aku merasakan pipiku memerah. Buru-buru kupalingkan wajahku.
“Kamu ingin bisa berdoa?”
Aku diam saja.
“Datanglah ke surau sekali lagi! Kakek akan senang sekali berjumpa denganmu di sana.”
Aku bahkan baru tahu rumah itu punya nama sendiri. Surau? Hehe..lucu….
“Tapi aku tidak punya baju putih.”
Kulihat kening si kakek mengernyit. Tapi lalu ia berkata, “Tidak perlu baju putih. Apa warna baju terbaikmu?”
Aku berpikir sedikit lama. “Biru.”
“Pakai yang itu saja.”
“Dan aku juga tidak punya topi bundar.”
Kakek itu tersenyum. Ia mengusap rambutku yang kemerahan seperti rambut jagung. Merapikannya. Kali ini kubiarkan saja, tanpa mengacaknya lagi.
“Bagiku Kamu sudah memakai topi bundar itu, Nak! Datang saja!”
Aku mengangguk bersemangat. Tapi lalu wajahku pucat lagi. Kakek itu menyadarinya. Ia bertanya padaku apa ada lagi yang menggangguku.
“Abah…” Ucapku pendek. Pendek namun sanggup membuat bulu kudukku merinding. “Abah akan memukulku kalau aku tidak membawa pulang uang banyak.”
Kakek itu menghela napas. “Aku akan coba membantu sebisanya.”
“Benar ya, Kek?” Mataku berbinar.
Ia menganggukkan kepala. Mantap sudah keputusanku. Dan akhirnya, setelah membayar makanan, ia langsung pergi meninggalkanku.
Kuikuti sosoknya pergi. Ia seperti cahaya. Cahaya redup, menyegarkan namun tidak menyilaukan mata.
Dan aku menginginkannya pula.
*************
4
Hari ini pagi-pagi sekali aku sudah bersiap. Pagi buta. Katanya sebelum matahari terbit lebih baik. Nanti kakek itu akan mengajariku sho.., eh apa namanya? Sholat?
Seperti biasa abah masih tidur. Aku berjingkit, menenteng sandal jepitku hingga ke pintu. Namun segera aku berbalik ketika menyadari aku kelupaan sesuatu. Aku bercermin. Tersenyum, sedikit malu. Untuk berbulan-bulan lamanya, baru kali ini aku berpakaian rapi. Juga rambutku kusisir. Sebetulnya aku masih bingung. Haruskah kusisir belah tengah, atau samping. Atau ahh….! Pusing!
Ketika aku berjalan, kemeja biruku berkibar ditiup angin. Dinginnya bukan main. Tapi itu tidak mematikan semangatku. Sementara itu langit masih gelap-terang ragu. Bulan tampak sepotong. Seperti buah semangka yang diiris.
Lagi-lagi aku bertemu kelima anak yang kutemui kemarin. Namun beda, kali ini mereka tersenyum melihatku.
Mereka mengenakan kemeja biru.
“Ahmad!” Terdengar kakek memanggil namaku. Aku kaget, kakek pun mengenakan kemeja warna biru. “Selamat datang!”
Belum lagi hilang rasa keterkejutanku, aku menyadari bahwa mereka semua tidak mengenakan topi bundar.
Sama denganku.
*************
Aku pulang ke rumah dengan hati riang. Di tanganku ada tas plastik berisi kemeja putih, pemberian kakek. Pintanya aku memakai ini bila pergi ke surau keesokan paginya.
Suara gemerincing uang di saku kemejaku. Tidak banyak, tapi paling tidak aku tidak perlu mengamen lagi. Kakek memberikannya padaku. Katanya ini dari infaq penduduk sekitar sini.
Kubuka pintu. Kaget setengah mati melihat abah duduk di ruang tamu. Tangannya menggenggam rokok lintingan. Wajahnya merah. Tampaknya ia dalam keadaan marah. Dan malangnya, ia kelihatan seperti menungguku.
“Darimana saja Kamu?! Aku ketemu Joni, katanya Kamu sudah jarang mangkal di tempat biasanya!”
Aku tergagu. Badanku merinding.
“Apa yang Kamu bawa itu?” Ia melihat tas plastik di tanganku. Kusembunyikan di belakang punggungku, tapi memang sudah terlambat.
5
Abah merebutnya, dan membukanya dengan paksa.
“Jangan, Abah!”
Abah tidak menggubrisku. “Oh, jadi ini yang Kamu lakukan akhir-akhir ini?” Abah mengangkat kemeja putih dan Al-Qur’an, kemudian mencampakkannya ke lantai. “Pantas saja uang bawaanmu jadi sedikit!”
“Tapi Abah….”
“Tidak ada tapi-tapian! Siapa yang mengajari Kamu seperti itu, heh? Dikiranya seperti itu kita bisa hidup apa? Mau makan darimana?” Abah mendorong keningku dengan telunjuknya. “Pakai otakmu, Dungu!”
Aku mulai terisak. Takut.
“Lalu mana pesananku?” Suara abah meninggi.
Aku menggeleng lemah. Bibirku gemetar. Sudah sampai yang terburuk.
“Mana, heh?! Kausimpan di mana?”
“Ahmad tidak be.. li…. Orang Islam ti..dak boleh minum bi…irr..,” ujarku terbata-bata
“Apa?!” Dan tangan abah menyambar pipi kiriku. Belum lagi puas, pipi kananku menjadi sasaran juga. “Katakan siapa yang sudah meracuni otakmu itu, Heh? Akan kubunuh dia!”
Aku tidak berani berucap. Bibirku kukunci rapat. Bila perlu kugigit lidahku agar tak ada kata terucap. Biarlah berdarah.
“Jangan-jangan si kyai keparat itu!”
Aku kaget. Bagaimana abah bisa tahu?
Abah tampaknya melihat raut mukaku berubah. “Benar kan dugaanku? Akan kuberi pelajaran dia!” Ia beranjak dari kursinya. Tangannya menyambar parang yang selama ini tergantung di dinding ruang tamu sebagai hiasan. Tapi aku tahu, parang itu sebenarnya bukan sekedar parang hiasan.
Aku menghambur. Bersimpuh memegangi kakinya. “Ampun! Jangan Abah sakiti kakek! Jangan, Abah!”
“Apa-apaan Kamu ini?!” Abah berusaha melepaskan cekalan tanganku. “Lepaskan kataku!” Ia menampar wajahku. Pipiku sampai lebam, dan rasanya seperti mati rasa. Lalu lengannya yang besar membetot tanganku agar melepaskan kakinya.
Tapi aku tidak mau melepaskannya!
“Anak jahanam!!” Abah kehilangan kesabaran. Ia mengambil sebotol bir kosong di lantai.
Aku mendengar suara angin berkesiut menuju ke arah kepalaku. Suaranya mengerikan. Membuat bulu kudukku berdiri. Tapi itu tidak lama karena semuanya langsung gelap di mataku.
6
**************
“Ahmad buka mata! Eh, dia sudah siuman.”
Meskipun tampak berbayang, kulihat Anton, Manto, Tamrin, Sugi, dan Totok berdiri mengerumuniku. Mereka adalah teman baruku yang kudapat dari mengaji di surau kakek.
Di depan sana, kulihat sosok kakek duduk bersandar ke dinding. Raut wajahnya capek. Tapi ia tetap tersenyum di tengah kulit bibirnya yang keriput demi melihatku telah sadar.
“Di di..mana…aku ?” Terbata-bata aku terucap. Heran, sepertinya bibirku pun terasa berat untuk kugerakkan. Dan nyeri di kepalaku karuan membuatku sedikit mengeluh.
“Kamu di rumah sakit,” ujar Sugi.
Nyeri luar biasa. Kepalaku, auh!! Rasanya seperti ditusuk-tusuk. Seluruh badanku meremang. Sepertinya aku tidak kuasa atas tubuh ini lagi. Semua badanku kaku tidak bisa digerakkan.
“Ka kek….., Abaah?”
“Abahmu ditangkap polisi…”
“Aa…aabaah….,” isakku pelan. Tapi segera aku berhenti. Karena untuk menangis pun tubuhku terasa sakit.
Anton memegangi tanganku. “Kamu bisa tinggal dengan kami. Kamu tidak perlu takut disakiti lagi.”
Aku mencoba menoleh sedikit. Leherku…. Aku mengeluh.
“Kek.., ma…mati… itu sakit kah?”
Kelima temanku membisu. Kakek tidak berkata apa-apa. Di matanya tergenang air mata.
“Sa…sakit ya….” Keluhku.
“Ahmad, jangan berkata seperti itu. Kamu pasti akan sembuh. Lalu kita bisa main kelereng seperti dulu lagi. Aku janji akan membagi kelerengku lebih banyak.”ujar Anton
Kuangkat jemariku. Bergetar dan sakit sekali. Tanganku seperti menggantung di udara. Cepat-cepat disambut oleh Anton yang menggenggam erat jemariku. Ia kelihatan kaget merasakan tanganku sudah sedemikian dinginnya.
“Te…terima ka…sih…” Aku tersenyum. Dan sebutir air mataku mengalir di antara pipiku yang memar.
Aku mendengar suara langkah-langkah kaki menuju kamar ini. Mendekat, namun terdengar semakin menjauh. Memang aku tak bergerak, namun rasanya diriku seperti dibopong pergi. Suara samar itu kemudian menjelma jadi sosok-sosok putih yang muncul dari pintu. 7
Mereka mengerubungiku. Aku sudah tidak bisa lagi mengenali wajah mereka, karena mata ini rasanya tidak sabar ingin menutup.
“Kritis, Suster! Cepat harus kita bawa….”
Hanya itu yang dapat kutangkap di telingaku. Juga lantunan doa kakek yang seperti meninabobokan aku.
Sedetik terasa sangat berharga. Satu-satunya yang terngiang di telingaku adalah perkataan kakek. Orang yang dicabut nyawanya sakitnya seperti diiris pedang seribu kali
Seperkian detik kemudian kulalui. Rasanya lama sekali ku menunggu. Mempersiapkan diri untuk menghadapi yang terburuk dari yang paling buruk. Diiris dengan pedang.
Hingga hembusan angin datang, sejuk, memadamkan jiwaku. Aku mati.
Meninggalkan sebuah senyum. Senyum beku yang seakan ingin mengatakan sesuatu.
Kakek bohong……, mati tidak sakit.
-------oo-------
2 Agustus 2002
8

Tidak ada komentar: